Semangat dan Idealisme sebagai Kemewahan Terakhir Milik Pemuda; Mengawal Budaya Literasi dengan Griya Aksara
“Belum pernah ada sebelumnya di antara mereka yang memiliki pengalaman untuk mengelola rumah baca. ketertarikan untuk bergabung hanya diawali dengan hobi yang sama, yaitu menyukai buku-buku. Mereka berangkat bersama-sama dari ketidaktahuan.”
- Nadya Rizqi Hasanah Devi -
“Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!”, kutipan dari Bapak Proklamator (Bung Karno) itu selalu mengingatkan Nanda betapa mahal dan besarnya semangat pemuda. Nanda membayangkan seolah-olah menjadi pemuda jauh dari segala ketakutan, apapun impian dan harapan pasti akan mudah dicapai. Tapi Nanda mencatat, Bung Karno meminta bukan hanya satu pemuda, akan tetapi sepuluh. Apakah artinya? Kekuatan pemuda jika mereka berkumpul, bergerak bersama, berkomitmen untuk mencapai tujuannya. Sebesar apapun tujuan tersebut seakan-akan tampak sangat mudah untuk diwujudkan.
Sebagaimana semangat yang ditunjukkan oleh mereka, Nanda dan teman-temannya, pemuda-pemudi dari Kabupaten Sidoarjo yang berkumpul bersama dalam Komunitas Rumah Baca Griya Aksara. Mereka yang hadir dari Sidoarjo, Surabaya hingga Gresik dengan merelakan waktu di tengah kesibukannya untuk berkumpul di sebuah ruang kecil, di sebuah sudut Desa Tambak Rejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Di ruang rumah baca itulah mereka meniti perjuangannya dalam dunia literasi.
Kehendak mereka bukan didasari atas sebuah perintah atau demi mendapatkan keuntungan tertentu, akan tetapi karena keresahan yang sama mereka memulai bergerak dalam wadah rumah baca. Karena mereka, terutama Nanda, merasa ironi ketika melihat lingkungan sekitar yang tidak lagi memberikan ruang bagi anak-anak untuk bermain secara layak dan sehat.
Sebagai daerah pinggiran kota, tidak ada lagi lapangan atau sekadar halaman untuk anak-anak dapat bermain bersama seperti generasi sebelumnya. Mereka pun dimanjakan dengan game online dari gadgetnya. Parahnya kondisi tersebut didukung dengan semakin banyak warung kopi alias Warkop dengan layanan full Wifi yang semakin menjamur. Jika dulu Warkop hanya digunakan untuk pelanggan pria dalam rentang usia remaja sampai bapak-bapak, akan tetapi saat ini anak-anak pun ikut nimbrung di sana. Lantas, bagaimanakah tumbuh kembang mereka untuk menjadi generasi masa depan Bangsa Indonesia?
Keresahan itulah yang menjadi alasan Nanda dan teman-temannya sebagai penggiat Rumah Baca Griya Aksara untuk belajar bersama merawat komitmen bersama demi menciptakan lingkungan sehat yang ramah anak.
Langkah itu dimulai dari Nanda, sebagai seorang santri yang baru saja pulang dari pondok mendapatkan tantangan dari Kyai-nya untuk bisa bermanfaat di lingkungan rumahnya. Ia pun menceritakan hal itu pada Cak Bidin, tetangganya. Dari obrolan mereka tercetuslah ide untuk membuat perpustakaan desa atau rumah baca. Saat itu, Cak Bidin memiliki banyak koleksi buku, dan ia bersedia mendonasikan bukunya untuk membuka rumah baca.
Ide Nanda untuk mendirikan rumah baca tersebut mendapatkan sambutan hangat dari abah atau ayah Nanda, beliau menyediakan ruangan bekas toko yang tidak dipakai untuk dijadikan rumah baca. Rencana tersebut ternyata mulai terdengar tetangga sekitar. Mereka pun antusias turut berpartisipasi mendirikan rumah baca. Mulai dari menyumbangkan buku koleksi pribadi, membelikan rak hingga bersama-sama merenovasi dan mengecat ruang tersebut untuk menjadi rumah baca yang menarik bagi anak-anak.
Selesai menyiapkan ruang dan fasilitas untuk rumah baca, Nanda mengajak adiknya, Dian, untuk mulai merancang kegiatan menarik guna mengajak anak-anak bermain di rumah baca. Mereka berdua menyadari jika bergerak dengan lebih banyak teman akan memudahkan langkah untuk mencapai tujuan. Di saat itulah Dian mulai mengajak pemuda-pemudi dari lingkungan sekitar rumah hingga teman-teman sekolahnya dulu. Satu per satu mereka hadir, dimulai dari Fita, Ida, Puri dan Windi yang merupakan pemuda dari daerah tersebut ternyata memiliki kemauan untuk turut bergabung. Lalu, hadirlah Devi dan Adel teman sekolahnya yang ternyata memiliki ketertarikan yang sama. Setelah mengadakan beberapa kegiatan, ternyata teman dari daerahnya pun juga ada yang tertarik untuk bergabung yaitu Samsul, Wahyu dan Furqon. Ajakan tersebut semakin meluas, hingga akhirnya dari teman ke teman, seperti Gelar yang merupakan teman kuliah dari Samsul.
........................
Kisah lengkap "Semangat dan Idealisme sebagai Kemewahan Terakhir Milik Pemuda; Mengawal Budaya Literasi dengan Griya Aksara" dapat anda baca di buku Membumikan Literasi.
Belum ada Komentar untuk "Semangat dan Idealisme sebagai Kemewahan Terakhir Milik Pemuda; Mengawal Budaya Literasi dengan Griya Aksara"
Posting Komentar